Educationomic, Berhala Masyarakat Modern

Maraknya berbagai kasus penyimpangan perilaku yang melanda dunia pendidikan di Indonesia belakangan ini, membuat John Hopkins Whitehead, pengamat pendidikan asal Amrik geleng-geleng kepala keheranan. Pasalnya, berdasar data yang terekam dan disiarkan di televisi secara nasional, telah ia susun daftar panjang penyimpangan perilaku yang terjadi di dunia pendidikan formal sekolah, yang antara lain meliputi:

1. Tawuran mahasiswa antar kampus maupun antar fakultas dan antar jurusan; 2. Tawuran antara mahasiswa dengan polisi di satu pihak dan mahasiswa dengan warga di lain pihak; 3. Aksi mahasiswa merusak kampus; 4. Fenomena maraknya Ayam Kampus; 5. Tawuran pelajar antar sekolah maupun antar kelas; 6. Perkelahian antar siswi; 7. Terbentuknya gang-gang siswi; 8. Murid melawan dan berkelahi dengan guru; 9. Guru menyiksa murid; 10. Guru membunuh siswa; 11. Siswa senior menyiksa siswa yunior; 12. Taruna senior membunuh taruna yunior; 13. Peredaran rekaman film porno dengan artis dan aktor murid sekolah; 14. Perselingkuhan antar guru maupun siswa dengan guru; 15. Guru main esek-esek disebarkan lewat HP; 16. Siswi hamil di luar nikah; 17. Penggunaan narkoba di lingkungan sekolah; 18. Siswa bunuh diri; 19. Siswa melakukan kriminalitas; 20. Kepala sekolah korupsi dana pendidikan; 21. Guru dagang buku/ LKS; 22. Buruh mengajar berstatus guru; 23. Manipulasi data sertifikasi; 24. Dagang skripsi; 25. Kebocoran soal UAN; 26. Jual beli ijazah palsu; 27. LPJ fiktif; 28. Mark up proyek pembangunan sekolah, 29. Sekolah menipu wali murid dengan program-program fantastis yang tidak jelas seperti sekolah bertaraf internasional, sekolah unggulan, sekolah plus plus, sekolah global; 30. Dosen barter nilai dengan aktivitas esek-esek, dan segudang penyimpangan perilaku memalukan lain yang telah meluas di bawah permukaan dunia pendidikan tetapi terpendam selama puluhan tahun sebagai gunung es yang sewaktu-waktu akan meledak menghancurkan segala.

Dengan benak diliputi kecamuk tanda tanya dan berbekal daftar penyimpangan perilaku insan-insan dunia sekolah John Hopkins Whitehead menghadap Guru Sufi yang kebetulan sedang berbincang tentang pendidikan khususnya tentang penerimaan siswa dan mahasiswa baru bersama Dullah, Sukiran, Sufi tua, Sufi Kenthir, dan Sufi Sudrun di teras mushola. Seperti orang tidak kuat lagi mengangkat beban yang dipikulnya, John Hopkins Whitehead menumpahkan keheranannya atas keadaan dunia sekolah yang sudah compang-camping itu dalam sebaris kalimat,”Jika fakta sudah menunjuk betapa buruk dan rendahnya jiwa sekolah, kenapa masyarakat masih mengirim anak-anak mereka ke sekolah untuk dihancurkan jiwa dan pikirannya?”

Guru Sufi ketawa mendengar pernyataan John Hopkins Whitehead yang bernada tanya itu. Sebentar kemudian, ia menjawab singkat,”Sebab, pertama-tama, sistem persekolahan sudah menjadi satu-satunya idol yang diyakini bisa menjadi wahana bagi kesuksesan hidup manusia. Jadi apa pun faktanya terkait keberadaan sekolah sebagai idol itu, masyarakat sudah tidak perduli. Para pemuja sekolah sebagai idol, dengan membuta-tuli tetap menyembah dan memuja-muja serta mematuhi apa pun aturan yang dibuat idol yang mereka yakini maha menentukan nasib manusia itu.”

“Tapi masyarakat kan punya akal untuk menimbang mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, Pak Kyai?” kata John Hopkins Whitehead.

“ membuat sistem yang lebih rumit dan susah dicapai karena tidak masuk akal dan sangat berlebihan tololnya, tetap juga dipatuhi dan diikuti oleh para pemujanya yang sudah buta mata hati dan tuli telinga nuraninya,” kata Guru Sufi. idol. Bahkan ketika sangcommon sense, mana bisa menggunakan akalnya dengan cara yang benar berdasar idolManusia kalau sudah menjadikan sesuatu sebagai

“Apa sampai seperti itu, Pak Kyai?” kali ini John Hopkins Whitehead makin heran.

“Sampeyan tahu Pak Hopkins, kedudukan Pendidikan Taman Kanak-kanak alias Kindergarten yang sebelumnya adalah pendidikan non-formal, sekarang diformalkan menjadi bagian dari sistem pendidikan sekolah di bawah SD. Pada saat masyarakat menerima ketetapan itu sebagai keniscayaan, maka ditentukan wajibnya guru-guru Taman Kanak-kanak atau Kindergarten untuk memiliki ijazah S-1,” kata Guru Sufi.

“Ya, ya, saya tahu itu.”

“, menganggap semua aturan itu sebagai ritual suci yang harus dilewati dengan harapan anak-anak mereka akan menjadi orang sukses di kelak kemudian hari,” kata Guru Sufi menjelaskan.idolItu artinya, peluang baru bagi proyek memperdagangkan sekolah sebagai komoditi makin terbuka. Sekarang yang masih digolongkan  pendidikan non-formal adalah PAUD – Pendidikan Anak Usia Dini – yaitu anak-anak usia 2-4 tahun, tetapi biayanya jauh lebih mahal daripada TK. Nah untuk menunjang kesuksesan PAUD dan TK, sudah disediakan lembaga bimbingan belajar yang harganya tidak murah. Tapi para pemuja sekolah sebagai

“Maaf Mbah Kyai,” sahut Sukiran menyela,”Saya malah dengar-dengar, sekarang ini ada pendidikan Pra-PAUD yang disebut TPA, yaitu Taman Penitipan Anak untuk anak-anak usia 0-2 tahun, yang tarifnya juga lebih mahal dari PAUD.”

“”Kalau TPA sebagai Pra-PAUD, itu bukan dengar-dengar bro,” sahut Dullah menyela,”Itu fakta yang sudah berkembang riil di tengah masyarakat. Yang baru  dengar-dengar, para pakar pendidikan sekolah saat ini sedang merancang konsep pendidikan Pra-TPA.”

“Apa?” sahut Sukiran kaget,”Apa ada pendidikan formal Pra TPA? Mana mungkin?”

“Mungkin saja,” sahut Dullah tenang,”Yaitu pendidikan formal yang disebut PADK – Pendidikan Anak Dalam Kandungan.”

“Hah, Pendidikan Anak Dalam Kandungan?” sahut Sukiran makin kaget,”Mana mungkin ada pendidikan untuk janin dalam kandungan?”

“Wah ketinggalan informasi kamu, bro.”

“Maksudku, bagaimana cara belajarnya janin?” tanya Sukiran minta penjelasan.

“Bocoran yang sempat aku dengar,” kata Dullah menjelaskan,”Mata kuliah yang diberikan pertama-tama berkaitan dengan senam ibu hamil. Lalu ada sistem pernafasan ibu hamil yang menggunakan teknik-teknik yoga-samadhi. Buku-buku panduan menyangkut makanan sehat yang harus dijadikan menu makan ibu hamil juga sudah disiapkan lengkap dengan cd. Seperangkat kaset music untuk diperdengarkan kepada bayi di dalam kandungan juga sudah disiapkan, mulai lagu-lagu klasik, jazz, bossanova, sampai lagu-lagu qasidah. Dan biayanya, pasti lebih mahal, karena ijazahnya nanti akan ditanda tangani kepala sekolah, dokter spesialis anak, dokter spesialis gizi dan nutrisi, dokter spesialis kejiwaan, dan pakar ergonomic.”

“Walaah, hebat sekali ya kalau nanti orang Indonesia mengikuti pendidikan di sekolah formal, karena kalau sampai puncak S-3, paling tidak akan memiliki 10 ijazah formal, yaitu dari ijazah PADK, TPA, PAUD, TK, SD, SMP, SMA, S-1, S-2, S-3. Wah, wah, wah, habis dana berapa itu?” gumam Sukiran geleng-geleng kepala.

John Hokins Whitehead tertegun-tegun mendengar pembicaraan Dullah dengan Sukiran yang menurutnya memang masuk akal dan menunjukkan kilas kebenaran tak tersanggah. Setelah semua terdiam, ia bertanya kepada Guru Sufi dengan alur yang berbeda,”Mengapa orang-orang di dunia pendidikan formal negeri ini suka sekali membuat aneka macam kesulitan dalam mendidik, padahal ujungnya kita semua tahu, yaitu berlatar DUIT?”

“Karena bagian terbesar bangsa ini jiwanya sudah bersenyawa dengan jiwa setan,” sahut Guru Sufi dengan suara datar dan dingin.

“Bersenyawa dengan jiwa setan ?” sahut John Hopkins Whitehead serius,”Bagaimana alasan logiknya yang masuk akal, Pak Kyai?”

“Pak Hopkins, sebagaimana sampeyan tahu bahwa Allah dalam keyakinan kami adalah Dzat Mahamutlak yang menjadi Sumber segala pengetahuan. Allah adalah Guru, yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia melalui al-Qalam (Q.S.Al-‘Alaq:4). Sebagai Sumber semua pengetahuan, Allah memberi kemudahan kepada siapa saja yang meminta kepada-Nya, dengan cara beriman dan mematuhi-Nya (Q.S.Al-Baqarah: 186; Ali Imron: 195; Al-Anfal:9; Hud:61). Allah senantiasa memberi kemudahan kepada siapa saja yang meminta kepada-Nya. Nah manusia-manusia yang jiwanya tercerahkan oleh cahaya Ilahi, akan memancarkan sifat Ilahiyyah yang selalu  memudahkan manusia yang menuntut ilmu Allah melaluinya. Sifat manusia yang memancarkan sifat Ilahiyyah itu dapat kita baca dalam  kitab Ta’limul Muta’alim, Ihya’ Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Akhlaq Al-Karimah, yang menjadi dasar pendidikan pesantren.”

“Sementara setan dan jin, dicirikan oleh tindakan yang bertolak belakang dengan sifat Allah di mana jika mereka dimintai sesuatu bantuan, maka mereka akan membikin syarat berupa macam-macam kesulitan yang menyengsarakan manusia. Bahkan jika manusia sampai meminta perlindungan dan menggantungkan harapan kepada jin dan setan, maka kesulitan-kesulitan akan digelar sampai manusia itu terpuruk ke jurang kesesatan (Q.S.Al-Jinn: 6; An-Nahl:100; Az-Zukhruf:37). Demikianlah, sifat manusia yang sudah dipancari kegelapan setani akan menjadikannya berperilaku seperti setan, yaitu menggelar berbagai macam kesulitan bagi siapa saja yang meminta bantuan dan pertolongan kepadanya, apalagi kepada orang-orang yang sudah menggantungkan harapan kepadanya.”

“Jika sifat setan yang suka menyulitkan itu tercermin pada manusia-manusia yang jiwanya terpengaruh setan,” tanya John Hopkins Whitehead ingin tahu,”Bisakah Pak Kyai memberi contoh manusia-manusia yang sudah terpengaruh setan itu dalam kehidupan riil ini?”

“Pak Hopkins, sampeyan  pernah membaca buku-buku tentang kebudayaan Jawa?” tanya Guru Sufi.

“Saya suka sekali membacanya, Pak Kyai,” sahut John Hopkins Whitehead.

“Pak Hopkins pernah membaca tentang perilaku orang Jawa yang ingin hidup kaya berlimpah harta melalui bantuan setan yang disebut Ngipri atau Pesugihan?” tanya Guru Sufi.

“Pernah Pak Kyai,” sahut John Hopkins Whitehead menahan geli,”Orang meminta kekayaan kepada Nyi Blorong, Tuyul, Keblek, Babi Ngepet, Kandhang Bubrah, dll. Tapi itu kan dongeng Pak Kyai? Mana ada kekayaan diperoleh dengan cara tidak masuk akal seperti itu?”

“Lepas dari itu sebuah dongeng atau takhayul, tetapi dalam fenomena itu ada alur sistem pemikiran yang sesuai dan berkaitan dengan masalah yang kita bahas, di mana setan selalu mencirikan diri dengan usaha-usaha mempersulit manusia yang meminta bantuan jasanya dalam memenuhi keinginan. Maksudnya, untuk meminta bantuan jin dan setan yang disebut Nyi Blorong, Babi Ngepet, Tuyul, Keblek, Kandhang Bubrah itu terdapat sistem rumit yang menyengsarakan peminta bantuan. Untuk bisa menghadap Nyi Blorong, misal, sang peminta bantuan terlebih dulu mesti lewat calo, dukun, juru kunci,yang semuanya tidak gratis. Setelah ketemu Nyi Blorong, dia harus bersedia memenuhi semua syarat yang dibutuhkan yang sulitnya luar biasa, termasuk menyediakan korban nyawa setiap tahun.Bahkan akhirnya, peminta bantuan itu jika mati akan jadi budak setan yang dimintainya bantuan it,” kata Guru Sufi menerangkan.

“Apakah permohonan orang yang meminta bantuan itu pasti terkabul?” tanya John Hopkins Whitehead.

“Tidak selalu terkabul, tapi dia sudah terlanjur sesat jalan.”

“Kenapa bisa seperti itu Pak Kyai?”

“Karena biasanya, setan itu selalu membuat janji palsu (Q.S.Ibrahim:22),” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Aha, saya faham Pak Kyai,” sahut John Hopkins Whitehead,” Ini adalah Analogi yang menarik membandingkan perilaku orang-orang yang ingin kaya raya lewat bantuan Nyi Blorong dengan orang-orang yang ingin hidup mulia kaya raya di dunia lewat pemujaan idol  modern bernama sekolah. ”

“itu diberi nama lebih mempersona dan menarik hati dibanding pesugihan, yaitu Educationomic,” sahut Guru Sufi.Tapi sistem sekolah sebagai

“Educationomic?” seru John Hopkins Whitehead terkejut,”Pendidikan sebagai komoditas yang didistribusikan untuk menambah nilai ekonomi. Wah, tepat sekali istilah itu untuk menjadi kata kunci bagi kebingungan saya selama mengamati pendidikan formal di negeri ini. “

“Maaf Mbah Kyai,” sahut Sukiran  bertanya dengan suara tinggi,”Kalau memberhalakan sekolah analoginya sama dengan orang mencari pesugihan, yaitu mendewakan sesuatu melebihi Tuhan, apakah itu tidak sama dengan kejahilan modern? Bagaimana masyarakat yang mengaku rasional dan modern bisa “dikerjai” oleh Nyi Blorong dan demit pesugihan bergelar professor dan doktor beserta bala pasukannya yang bercokol di gua angker bernama sekolah? Apa demikian maknanya, Mbah Kyai?”

Guru Sufi ketawa. Sufi tua, Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, dan John Hopkins Whitehead ikut ketawa mendengar ungkapan Sukiran yang penasaran sekaligus mendongkol karena merasa dirinya adalah bagian dari manusia pemuja dan penyembah berhala modern bernama SEKOLAH!